Indonesia tengah bergulat dan berusaha mencapai keadaan yang lebih baik, tetapi ada ketidakpastian jaminan hukum dari Negara yang dapat memberikan rasa tidak aman kepada masyarakat untuk menjamin bahwa setiap masyarakat dapat mempunyai akses yang memadai untuk menikmati hak-hak dasarnya didalam hukum menuju kesejahteraan. Sebuah penelitian secara nasional memperlihatkan bahwa 56% masyarakat tidak dapat menunjukkan satu saja contoh hak hukum yang mereka miliki. Angka tersebut meningkat drastis pada kelompok perempuan (66%) dan responden yang tidak memiliki pendidikan formal (97%).[1]
Sebuah laporan yang diluncurkan oleh Commission on Legal Empowerment mengemukakan bahwa empat milyar orang di seluruh dunia berada pada kemiskinan, karena mereka tersisihkan dari pembangunan, khususnya pembangunan hukum[2]. Pembangunan hukum hampir dipastikan gagal untuk memberi akses terhadap keadilan kepada orang miskin.[3] Perspektif dalam melihat “kemiskinan” dan upaya penanggulangannya yang belum tepat, menyebabkan kemiskinan tetap menjadi permasalahan laten.
Instrumen hukum dasar yang berlaku di Indonesia yaitu Undang – Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 telah memberikan kewajiban bagi negara Indonesia untuk memberikan jaminan agar setiap masyarakatnya mendapat pemenuhan hak-hak dasarnya bersamaan dengan keadilan dan kepastian hukum. Hal ini berarti hukum harus ditegakkan oleh pemerintah agar tujuan negara dapat tercapai sekaligus juga memenuhi seluruh kewajiban negara dan memberikan masyarakat hak-hak mereka. Tujuan-tujuan ini dapat dicapai dengan menyelaraskannya dengan tujuan hukum itu sendiri.
Gustav Radbruch (1878-1949), seorang ahli hukum Jerman mengatakan, “Hukum adalah kehendak untuk bersikap adil.” (Recht ist Wille zur Gerechtigkeit). Hukum positif ada untuk mempromosikan nilai-nilai moral, khususnya keadilan. Lainnya menurut teori etis, hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan kita yang etis tentang yang adil dan tidak. Oleh karena itu hukum betujuan untuk merealisir atau mewujudkan keadilan[4].
Hakekat keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan dengan mengkajinya oleh suatu norma yang menurut pandangan subyektif melebihi norma-norma lainnya.[5] Penilaian tentang keadilan ini pada umumnya hanya ditinjau dari satu pihak saja, yaitu pihak yang menerima perlakuan. Misalnya kalau kebijaksanaan pemerintah telah dipertimbangkan masak-masak bahwa hal itu demi kepentingan umum, demi kepentingan orang banyak, tetapi ada warga negara yang tidak terpenuhi kebutuhannya, apakah kebijakasanaan pemerintah itu dapat dinilai tidak adil. Maka keadilan harus dilihat dari dua pihak, yaitu pihak yang memperlakukan dan pihak yang menerima perlakuan[6].
Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan, yaitu justitia distributiva dan justitia commutativa.[7] Justitia distibutiva menuntut setiap orang mendapat apa yang menjadi hak atau jatahnya, jadi yang dinilai adil adalah apabila setiap orang mendapat haknya secara proporsional dalam hal tertentu. Sedangkan justitia commutativa memberi kepada setiap orang sama banyaknya, yang berarti adil ialah apabila setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukannya dan sebagainya. Justitia commutativa ini dijelmakan dalam suatu asas dalam sistem hukum sebagai suatu prinsip yang memberikan setiap orang hak yang sama dan perlakuan yang sama di depan hukum dan perangkatnya, yaitu equality before the law.
Dalam konsep klasik dan konservatif tentang hukum dikenal adanya doktrin hukum yang otonom, netralitas, dan persamaan kedudukan dalam hukum (equality before the law). Doktrin tersebut merupakan klaim paling utama dari teori dan ilmu hukum, filsafat hukum dan para ahli hukum. Otonomi berarti hukum terbentuk tanpa adanya pengaruh dari pihak manapun, netralitas maksudnya hukum dianggap tidak berpihak, karena itu ia adil, lalu persamaan kedudukan berarti hukum sebagai satu entitas tidak membedakan siapapun yang meminta keadilan kepadanya. Doktrin ini telah begitu lama diterima dan melekat di dalam kebudayaan, dipraktekkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara[8].
Dalam prinsip ‘rule of law’, hukum dipercaya berdiri di atas semua golongan, memberi kepastian, hukum dipandang mengandung kebenaran dan keadilan yang sudah pasti. Dalam pemikiran positivisme hukum, dipercaya bahwa satu-satunya hukum yang paling tinggi adalah hukum negara, dan negara adalah satu-satunya institusi yang mendistribusi keadilan kepada segenap warga negara. Prinsip – prinsip ini dijadikan landasan bagi Negara sebagai salah satu kewajiban Negara yang bertujuan untuk menjamin tidak adanya penyimpangan atas pelaksanaan hukum dalam Negara. Oleh karenanya jaminan dilaksanakannya prinsip – prinsip ini dilakukan oleh negara melalui pembentukan peraturan perundang-undangan yang dalam pembentukannya memuat prinsip tersebut. Jaminan atas kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum, tidak dapat dilepaskan dari ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan tersebut.
Penjaminan oleh negara ini tertuang dalam Konstitusi Republik Indonesia, yaitu di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab XA, terutama yang khusus berkaitan dengan hak untuk mendapatkan keadilan, yaitu pasal 28 D, yang menyatakan bahwa, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum”.
Walaupun konstitusi Negara telah memberi jaminan dasar bagi perlindungan hak dan kepentingan demi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia yang dimandatkan kepada pemerintah Indonesia, semangat perlindungan, penguatan, dan pemenuhan hak bagi rakyat Indonesia itu sendiri tidak serta merta dengan sendirinya telah terejawantah dalam berbagai produk peraturan dan kebijakan pemerintah oleh lembaga – lembaga negara di berbagai sektor seperti tanah dan sumberdaya alam, ketenagaan kerjaan, pendidikan, kesehatan, pembangunan ekonomi dan sistem hukum itu sendiri.
Negara bukanlah sumber tunggal dari pesan normatif hukum yang menjadi satu – satunya pelaksana dan pengawas keberlakuan hukum di dalam masyarakat. Dalam hal ini perspektif ‘sentralisme hukum’ yang menggambarkan alat – alat perlengkapan negara (dan ajaran – ajaran mereka) menempati titik sentral dari kehidupan hukum dan memiliki kedudukan pengawasan yang hierarkis terhadap penata norma lain yang lebih rendah kedudukannya (seperti keluarga, korporasi, dan jaringan bisnis misalnya), harus dikesampingkan.[9] Sama halnya dengan kesehatan yang bukanlah terutama dapat ditemui di rumah sakit – rumah sakit atau pengetahuan yang tidak diperoleh melalui ajaran di sekolah saja, maka keadilan juga bukanlah terutama ditemukan di lembaga – lembaga yang secara formal mendistribusikan keadilan.
Rakyat mengalami keadilan (atau juga ketidakadilan) bukan saja ( atau biasanya) di lembaga – lembaga formal negara, tetapi juga pada lokasi – lokasi kegiatan primer yang berwujud pranata seperti rumah, lingkungan ketetanggaan, institusi pendidikan, tempat kerja, kesepakatan bisnis, dan sebagainya.[10] Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka keadilan oleh hukum yang dibentuk negara menjadi semu.
Masyarakat pada umumnya telah menganggap keadilan melekat pada hukum yang dibentuk oleh negara. Padahal hukum adalah pedang bermata dua. Hukum bisa menjadi sebuah acuan yang paling adil dan paling mengayomi, tapi juga bisa digunakan sebagai alat untuk mendefinisikan kekuasaan dan kepentingan. Sehingga akan ada pihak yang menjadi korban dari hukum yang tidak adil, karena hukum dapat mengklaim kebenaran-kebenaran sampai ranah yang tidak terbatas. Bagaimana hukum akan digunakan, entah untuk tujuan baik atau tidak baik (dalam artian hukum disalah gunakan) adalah tergantung bagaimana hukum dibentuk dan siapa yang memiliki kekuasaan untuk membentuk hukum.[11]
Ketika hukum justru menimbulkan hambatan – hambatan dalam pemenuhan hak dan kepentingan rakyat, maka kemudian dianggap hukum mengalami kegagalan[12]. Hukum dianggap tidak efektif dan memerlukan perubahan oleh karena adanya disparitas antara realitas hukum dan idealnya.[13] Keadilan yang dipercaya datang dari hukum ternyata tidak menjadi jamiman mutlak bagi masyarakat yang percaya bahwa hukum telah menjamin setiap orang memperoleh hak-hak dasarnya. Dalam prakteknya kemudian hukum tidak mampu menjamin bahwa masyarakat dapat didengar suaranya dalam ruang publik pengambilan keputusan penting dalam bernegara dan bermasyarakat. Hukum pun luput untuk melindungi masyarakat dari kekerasan, kelaparan, bahkan kebodohan.
Sebagian besar hal – hal tersebut tidak mampu diselesaikan oleh hukum, hanya sedikit dalam ranah formal saja hukum memberikan solusi untuk permasalahan hukum yang terjadi, oleh karena itu disebut kegagalan hukum, yang berarti hukum tidak efektif memberi keadilan. Kenyataannya, keadilan di Indonesia dijalankan bukan di ruang sidang pengadilan di kota-kota besar, tetapi di balai desa di penjuru nusantara.[14] Dalam sebuah laporan Justice fo the Poor World Bank, disebutkan penyelesaian sengketa terkadang yang dilakukan oleh kepala desa, pemuka adat, maupun tokoh agama yang didasarkan kepada tradisi, bahkan seringkali hanya berdasarkan pertimbangan subyektif para peminpin masyarakat tanpa dasar yang jelas atau tanpa mengacu kepada hukum negara maupun hukun adat.[15] Justru dipertanyakan kenetralan dan objektivitas hukum itu sendiri yang seharusnya bisa menjamin setiap orang berada dalam posisi yang setara dan adil.
Dalam riset yang telah dilakukan terhadap negara berkembang, menunjukan hasil bahwa meskipun telah dilakukan upaya memperdayakan hukum dan sistem hukum, reformasi hukum khususnya yang ditujukan untuk masyarakat kurang mampu tidak selalu mencapai hasil yang diinginkan[16]. Terutama adanya ketimpangan dari pembentuk hukum yang menciptakan hukum dan masyarakat kurang mampu yang seharusnya dapat menikmati hukum.
Sebuah pertanyaan kritis yang mungkin akan menutup perdebatan keadilan ini adalah ‘mengapa ketika dipercaya hukum berdiri di atas semua hal (dalam artian rule of law), masih ada sebagian dari masyarakat yang justru luput dari kekuasaan hukum itu sendiri?’. Mengapa ada ketidakadilan bagi mereka yang memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh hukum, sedangkan ada klaim dari hukum bahwa hukum berlaku bagi semua (justice for all). Apakah yang sebenarnya terjadi antara teori dan pelaksanaan hukum yang riil dalam masyarakat, sehingga nilai – nilai keadilan harus dimaknai kembali melalui hukum.
[4] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH., Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Yogyakarta : Penerbit Liberty, 2003 , hal. 77.
[5] Ibid., hal. 77.
[6] Ibid., hal. 78.
[7] Ibid.
[8]Umu Hilmy et. al., Penanganan Kasus-Kasus Trafiking Berperspektif Gender Oleh Jaksa dan Hakim, Malang : Penerbit Universitas Negeri Malang, 2006, hal. 24.
[9] T.O. Ihromi ed., Sulistyowati Irianto et al., Antropologi Hukum : Sebuah Bunga Rampai, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003, hal. 115 dalam Keadilan di Berbagai Ruangan (Marc Galanter).
[10] Ibid, hal. 115.
[11]Sulistyowati Irianto, Mempersoalkan ‘Netralitas’ dan ‘Objektivitas’ Hukum : Sebuah Pengalaman Perempuan, dimuat dalam Jurnal Perempuan Edisi 45 Tahun 2005, hal. 32.
[12]Istilah ini dimaksudkan bukan karena hukum tidak mampu berjalan atau tidak bisa dijalankan, tetapi dalam pembentukan dan penerapannya, hukum telah menimbulkan akibat lain yang justru melenceng dari tujuan hukum itu sendiri. Hukum justru tidak mampu mengatasi hal yang seharusnya bisa diatasi dengan pembentukan hukum itu sendiri. Faktor-faktornya antara lain adalah penyalahagunaan kekuasaan dalam pembentukan hukum sehingga produknya menjadi sarat kepentingan, yang malah membuat hukum tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
[13] Mulyana W. Kusumah dan Paul S. Baut, ed., Hukum Politik dan Perubahan Sosial, Jakarta : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1988, hal. 28 dalam Batas-Batas Sosiologi Hukum (Donald Black).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungan dan Atensinya? Sukses untuk Anda.