Menegakkan keadilan bukanlah sekadar menjalankan prosedur formal dalam peraturan hukum yang berlaku di suatu masyarakat, setidaknya itulah pernyataan yang kerap dicetuskan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh Mahfud MD.
Menurut Mahfud, menegakkan nilai-nilai keadilan lebih utama daripada sekadar menjalankan berbagai prosedur formal perundang-undangan yang acapkali dikaitkan dengan penegakan hukum.
"Kami lebih suka istilah menegakkan keadilan dibanding menegakkan hukum," kata Mahfud terkait dengan salah satu prinsip dasar yang digunakan hakim konstitusi dalam memutuskan perkara di MK.
Lebih lanjut ia memaparkan, penggunaan istilah menegakkan keadilan lebih disukai antara lain karena definisi hukum, terutama dalam bidang politik, seringkali hanya disempitkan kepada prosedur yang tertuang dalam suatu ketentuan atau peraturan perundang-undangan.
Padahal, ujar dia, rasa keadilan tidak hanya tegak bila penegak hukum hanya menindak berlandaskan pasal dalam UU secara kaku dan tidak mengenali nilai keadilan yang substantif.
Ketua MK menegaskan, penegakan hukum sebenarnya merupakan bagian atau perangkat yang digunakan untuk meraih tujuan yang lebih mulia, yaitu penegakan nilai keadilan.
Mahfud mengemukakan, berbagai hal mengenai penegakan keadilan di atas prosedur hukum belaka sebenarnya telah lama menjadi bahan diskusi di berbagai ruang kuliah hukum.
"Kami di MK telah berupaya untuk melaksanakannya," katanya.
Ia mengemukakan, MK sepanjang tahun 2009 telah membuat sejumlah terobosan hukum antara lain dengan mengeluarkan berbagai putusan yang hasilnya dinilai berbeda dengan perundang-undangan yang berlaku.
Mahfud mencontohkan tentang kasus perselisihan hasil pemilu legislatif yang hasilnya adalah pemungutan suara ulang di Nias Selatan dan pengesahan proses pemilu sesuai budaya setempat di Yahukimo, Papua.
Terobosan hukum lainnya yang mengutamakan keadilan substantif dibanding formal-prosedural adalah saat MK membolehkan penggunaan KTP dengan sejumlah syarat tertentu dalam pemilu oleh warga yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
"Paradigma keadilan substantif bisa saja menyimpang dari UU kalau pelaksanaan UU itu menimbulkan ketidakadilan di masyarakat," katanya.
Namun, ia menegaskan, segala sesuatu yang dilakukan oleh MK adalah sesuai dengan kewenangannya yang telah diamanatkan oleh UU.
Mahkamah Konstitusi sendiri telah dianugerahi sejumlah penghargaan sebagai lembaga peradilan paling transparan di antara berbagai lembaga peradilan di Tanah Air, seperti yang diberikan oleh Universitas Brawijaya Malang pada tanggal 25 Januari 2010.
"Proses peradilan di MK dilakukan secara terbuka dan akuntabel," kata Rektor Universitas Brawijaya, Prof Dr Yogi Sugito.
Hal tersebut, menurut Yogi, selaras dengan tekad pemerintah untuk melakukan reformasi birokrasi guna meningkatkan citra instansi pemerintah terutama dalam permasalahan akuntabilitas dan transparansi di berbagai lembaga atau institusi tersebut.
Mahfud juga menyatakan, transparansi peradilan merupakan faktor utama penegakan keadilan dalam pengungkapan kasus "cicak-buaya" yang sempat disorot oleh banyak media massa dan masyarakat luas.
"Kasus cicak-buaya berhasil dibongkar karena transparansi," kata Mahfud.
Menurut dia, dengan adanya transparansi maka bisa terungkap berbagai bentuk korupsi dan kolusi yang dilakukan warga dengan oknum aparat pemerintah yang terkait dengan kasus Cicak-Buaya.
Tranparansi itu muncul dalam bentuk diperdengarkannya rekaman terkait rekayasa kasus yang menjerat pimpinan KPK di Gedung MK pada tanggal 3 November 2009, sehingga rakyat mulai bergerak dan memberikan tekanan kepada pemerintah agar kasus tersebut tidak dilanjutkan hingga ke pengadilan.
Dengan demikian, ujar Mahfud, hal itu juga membuktikan bahwa transparansi bisa menghapus kekakuan dan kejumudan yang terdapat dalam prosedur hukum.
Keadilan dalam pembelaan
Masih terkait dengan penegakan keadilan, mantan Ketua KPK Antasari Azhar saat membacakan pleidoi atau pembelaan berpendapat, penanganan hukum terhadap dirinya merupakan bentuk kegagalan penegakan keadilan di tanah air.
"Harusnya saya dibebaskan dari segala tuntutan," katanya saat membacakan pledoi (pembelaan) dirinya dalam sidang dugaan pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB), Nasrudin Zulkarnaen, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis (28/1).
Sebagaimana telah diberitakan luas, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Antasari Azhar dengan hukuman mati terkait pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.
Antasari memaparkan kegagalan penegakkan keadilan dapat terbukti saat Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 1 Mei 2009 mengumumkan dirinya sebagai tersangka atau aktor intelektual kasus pembunuhan itu.
"Padahal kepolisian pada 4 Mei 2009 baru mengumumkan tersangka pembunuhan," katanya.
Di bagian lain, ia menyatakan penuntutan terhadap dirinya dengan hukuman mati, banyak kejanggalan, mulai dari tahap penyidikan, pembuatan surat dakwaan, hingga pemeriksaan di pengadilan.
Sementara itu, kuasa hukum Antasari Azhar, Juniver Girsang, mengatakan kasus terhadap kliennya itu merupakan serangan balik dari orang yang terusik oleh kinerja Antasari untuk memberantas korupsi.
"Ada beberapa kasus yang tengah ditangani KPK saat itu, seperti, pengadaan IT KPU, Pengaturan Upah Pungut di pusat maupun Daerah oleh beberapa Pemerintah Daerah, serta Kasus Masaro Proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) yang kemudian bergulir menjadi adanya upaya penyuapan pada KPK," katanya.
Antasari menyebutkan dirinya saat menjabat sebagai pimpinan KPK, tidak pandang bulu melakukan penegakan keadilan dalam hal pemberantasan korupsi.
Istilah keadilan juga kerap digaungkan oleh banyak warga masyarakat yang membela Prita Mulyasari yang sempat dijerat oleh pasal-pasal kontroversial dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam kasus pencemaran nama baik melawan Rumah Sakit Omni Internasional.
Bahkan, para pembela Prita yang berhasil mengumpulkan koin hingga lebih dari Rp600 juta juga sempat membuat konser bertajuk Koin Keadilan yang kata Koin merupakan akronim dari Kepedulian Orang Indonesia.
Gagasan dari konser tersebut tercetus setelah Prita Mulyasari divonis harus membayar uang denda sejumlah Rp204 juta kepada pihak Rumah Sakit Omni International atas tuntutan pencemaran nama baik.
Pengacara terkemuka yang dahulu sempat aktif di LBH, Luhut Pangaribuan mengemukakan, besarnya perolehan sumbangan untuk Prita adalah bentuk reaksi publik akan ketidakadilan.
"Publik menganggap pengadilan tidak menangkap rasa keadilan masyarakat," katanya.
Kasus Prita juga mengindikasikan bahwa merupakan tugas dari setiap warga negara untuk memastikan bahwa penegakan keadilan benar-benar dirasakan oleh seluruh lapisan rakyat tanpa adanya perlakuan yang dinilai diskriminatif dan melukai rasa keadilan masyarakat.(ant/waa)
Ditulis oleh Oleh M.Razi Rahman |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Kunjungan dan Atensinya? Sukses untuk Anda.